NOKTAH.
Pengalaman pertama saya bekerja di pemerintahan ternyata amat
membekas dihati. Saya seorang pegawai pemerintah setelah lulus pendidikan
kedinasan yang bergerak dibidang pertanahan. Selepas lulus pendidikan, saya
ditempatkan di sebuah kota kecil di sumatera. Pertama kali bekerja, selama
sebelas bulan gaji belum b isa saya terima karena ternyata ada kekeliruan
dsalam pembuatan SK penempatan yang tidak sama dengan SK gaji saya. Setelah
melalui perjuangan lewat birokrasi yang lamban dan tidak membawa hasil secaqra
cepat,saya secara pribadi berkirim surat kepada kantor pusat dan saya tulis
dengan tinta merah, karena marah, saya wajar kalau marah, karena selama s3belas
bulan itu saya masihdikirim biaya hidup oleh orang tua saya. Syukur setelah
saya kirim surat itu tak lama ada perbaikan SK sehingga gaji saya bisa saya
terima, melalui rapel gaji. Rapel gaji pertama kali selama sebelas bulan itu,
saya belikan sertipikat tanah dari teman kantor. Saya katakan beli sertipikat
tanah karena pada waktu beli,saya belum tahu dimana tanah itu. Belum pernah
m4enengok dilapangan. Hanaya tahu disertipikat, luas tanahnya lima ribu meter
persegi. Setelah dilihat ternyata tanah itu masih berupa semak belukar,
sehingga saya tidak bisa sampai ketanah tersebut. Pada wajtu itu harganya dua
ratus ribu rupiah.
Setahun kemudian saya perlu uang untuk mudik, satusatunya ya
jual tanah itu dan dibeli pedagang untuk keperluan jaminan pinjam uang bank.
Lakulah tanah itu sebesar lima ratus ribu rupiah. Alhamdulillah. Dengan itu
saya bisa mudik naik pesawat terbang sampai kemayoran jakarta. Pada waktu itu
soekarno hatta belum dipergunakan, masih dalam proses pembangunan. Sepulang
dari mudik, dikantor ada proyek pensertipikatan tanah massal yang dikenal
dengan nama Prona. Saya ditugaskan ke daerah daerah untuk melaksanakan prona
itu bersama dengan teman temqn kantor.
Satu hal yang menyulitkan dalamtugas itu adalah, saya tidak
diberi kesempatan membaca petunjuk pelaksanaan prona itu apa dan bagaimana
serta pertanggungjawabannya. Tahunya hanya bekerja danbekerja taanpa perlu tahu
antara fisik dan keuangannya. Tiba saat pembagian sertipikattanah, spetboat yang saya tumpangi dengan membawa
rombongan teman kantor dan ribuan sertipikat tanah, tenggelam di sungai besar
di Sumatera itu. Sungai dengan arus yang deras waktu itu, spetboat menabrak
jamban warga dan tenggelam. Waktu itu memang lagi banjir sehingga jamban warga
tidak kelihatan. Saya berusaha menyelamatkan diri dengan berenang menepi ssmbil
mengikuti arus sungai. Saat tenaga tidak lagi kuat ,saya berpikir, mungkin
nasib saya sampai disini. Sampai akhirnya saya ikut tenggelam disungai itu,
namun Tuhan masih menyelamatkan jiwa saya. Ternyata saat saya mau tenggelamitu,
kaki saya menginjak dasarsungai. Maka saya bisa menepi dengan menjejakkan kaki
didasar sungai itu.
Ujiqan belum cukup sampai disitu. Karena temapt pembagian
sertipikat jauh dari kantor, saya tidak ikut
perjalanan membagi sertipikat tersebut. Saya beristirahat dirumah kost,
atas saran kepala kantor saya. Al hasil saya tidak tahu bagai mana proses
membagi sertipikat yang basah oleh air sungai itu. Menurut ceritera teman teman yang ikut melanjutkan perjalanan
untuk meenyerahkan sertipikat itu, sesampai di kelurahan masingmasing,
sertipikat dijemur pada terik matahari dsn se3rtipikat tsb pada (mblobor)
tintanya kena air sungai. Karena setelah sertipikat selesai belum dibayar, dan
warga belum punya uang maka hanya warga
yang membayar waktu itu sebesar sepuluh ribu rupiah yang menerima
sertipikat bitu. Sisanya dititipkan dirumah masing masing lurah. Sisa
sertipikat yang masih banyak itu, kemudian hari menimbulkqan masalah di kantor,
karena sertipikat tinggal sedikit tetapi uang penebus sertiikat tidak
disetorkan ke bendharawan kantor oleh petugas yang menagihnya. Memang jarak
kantor dengan lokasi sertipikat yang dititipkan dirumah lurah itu mencapai
ratusan km. Sedang petugas menagih nhanya sebagai sambilan kalau ada permintaan
masyarakat yang azkan mengurus sertipikat tidak melalui proyek.
Pada ahirnya kantor propinsi tahu adanaya penyimpangan uang
itu, dan seluruh petugas dankaryawan dikumpulkan diruang kepala kantor.masing
masing petugas ditanya .oleh petugas propinsi tsb tetapi tiak ada satupun yang
mengaku memakai uang itu. Sehingga tanggungjawab terakhir tentu ada pada kepala
kantornya. Padahal waktu bitu kepala kantor sedang mendapat hukuman percobaan oleh pengadilan
setempat, jadi kalau tidak ada yang mengaku dan hal ini sampai tercium pihak
berwenang, maka kepala kantor pasti kena dan masuk penjara. Itulah yang
terpikir oleh saya waktu itu,padahal
saya baru bertugas belum lama di kantor dan pikiran masih murni, tidak berani
melakukan penyimpangan keuangan.
Maka dengan tegas saya katakan kepada petugas kanwil,” oleh
karena tidak ada yang mengaku, maka saya menyatakan bertanggungjawab” atas
hilangnya uang prona, yang kala itu ditaksir sejumlah dua juta rupiah. Pernyataan
saya ini sebenarnya ingin menyelamatkan kepala kantor waktu itu yang sedang
mengalami masa percobaan hukuman oleh pengadilan setempat atas kasus pembebasan
tanah waktu itu.
Kemana uang saya cari untuk menutupi kekurangan uang dua juta
yang hilang itu, sore itu juga saya bersama
satu orang pegawai senior, menemui pejabat propinsi yang dikenal banyak
uang karena memegang jabatan yang dikenal basah. Akhirnya uang bisa saya
dapatkan dan saya setorkan kerkantor, sampai sekarang uang itu tidak saya
kembalikan kepada pejabat ybs. Karena saya juga berpikiran pejabat pasti banyak korupsi uang negara pada
waktu itu. Namun setiap pejabat ybs kedaerah tempat saya bekerja, saya disindir
sebagai orang yang hatinya berbulu,artinya sayalah yang menilep uang negara
itu. Padahal saya tidak melakukan itu, Tuhan Maha Tahu.
Opinipun menyebar bahwa saya memakai uang itu untuk kawin,
saya tidak tahu siapa yaqng menyebarkan isue jahat itu, sampai
kejaksaanpunmencium aroma korupsi itu dan menduga saya dalang koruptornya. Hal
ini saya ketahui dari teman kejaksaan yang baru pindahan dari sulawesi yang
kebetulan sekampung. Namun karena merasa tidakmemakai uang itu, saya bekerja
seperti biasa. Dalam hati saya menduga duga siapa saja yang sering kelapangan
untuk menagih uang itu,karena lokasi prona itu ada pegawai senior yang tinggal
didaerah itu yang kenal dekat dengan para lurah disitu, namun saya tidak perlu
ungkapkan disini. Kejadian ini telah sekitar 35 tahun yang lalu. Inilah noktah yang menyertai awal penugasan
saya di pulau sumatera, yang sampai saat ini masih membekas jelas dibenak saya.
Apakah sikap saya ini sebagai sikap sok pahlawan ataukah bukan?. Hanya Tuhan
yang tahu. Mudah mudahan tulisan saya ini dibaca oleh orang orang yang waktu
itu merasa memakai uang hasil penebusan sertipikat tanah warga pada tahun 1981/1982
itu. Wassalam.
No comments:
Post a Comment