TUMPANG TINDIH LAHAN DI
JAKARTA.
Kepala BPN
Jakarta Barat, Soemanto, mengatakan sertifikat yang dikeluarkan tahun 2014 itu
mengacu pada dokumen girik yang dimiliki Toeti. Giriknya sendiri diketahui atas
nama ayah Toeti, Kun Soekarno."Berdasarkan girik dan keterangan pendukung
lainnya, sertifikat tanah tersebut milik Toeti," kata Soemanto melalui
pesan singkat, Rabu (29/6/2016).
Pernyataan
Soemanto sekaligus membantah pernyataannya beberapa hari lalu yang menyebut
sertifikat lahan di Cengkareng Barat atas nama Pemerintah Provinsi DKI,
tepatnya milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Soemanto sendiri
mengaku tidak tahu perihal adanya putusan Mahkamah Agung tahun 2012 yang
menyatakan lahan tersebut milik Pemprov DKI.
Terkait hal
itu, Kepala Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan Darjamuni saat
dikonfirmasi mengakui pihaknya belum memiliki sertifikat atas lahan tersebut.
Menurutnya, pihaknya baru mengusulkan pengurusan sertifikat ke Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
"Waktu
itu sudah kami usulkan untuk disertifikatkan, tapi belum. Sekarang kami usulkan
kembali," ujar Darjamuni.
Lahan di
Cengkareng Barat itu telah dibeli Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan untuk
lokasi pembangunan rumah susun. Transaksinya terjadi pada 2015.
Namun,
berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui bahwa lahan itu
masih milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI. Jika benar
demikian adanya, Pemprov DKI telah membeli lahan sendiri dengan harga Rp 648
miliar.
Berita diatas saya kutip dari kompas.com ,sebagai sumber
penulisan saya dibawah ini;
Dari berita tsb, ada beberapa masalah yang memerlukan
penanganan serius dari pemerintah maupun pemerintah daerah, khususnya DKI
Jakaarta, yaitu sbb :
1. Koordinasi antar lembaga BPN dengan
lembaga peradilan masih lemah, hal ini
dari pernyatan kepala BPN jakarta Barat yang mengungkapkan tidak tahu adanya
putusan MA tahun 2012. Saya kira bukan hanya kasus ini BPN tidak tahu dan tidak
diberitahu oleh lembaga peradilan pada kasus kasus pertanahan lainnya, juga
demikian. Peradilan kelihatannya hanya memberitahu BPN jika kasus sengketa
tanahnya diletakkan CB. Yang demikian itu membuka potensi masalah baru. Sebab
setiap kasus yang sedang terjadi, maka posisinya adalah status quo atas tanah
terperkara. Walaupun diberitahu adanya CB atas tanah terperkara, sering terjadi
bahwa tanah yang diletakkan CB tsb belum bersertipikat, dimana pencatatan
dilakukan oleh BPN?, apakah dipeta, itupun kalau surat CB secara jelas
menyatakan letaknya dan bisa diidentifikasi pada peta dasar BPN.kalau tidak
jelas, juga menyulitkan pengadministrasiannya. Maka perlu penyempurnaan SOP
oleh BPN mengatasi masalah ini.
2. Pernyataan kepala kantor BPN
Jakarta Barat, yang membantah pernyataan
sebelumnya, sungguh membuat saya bingung. Kenapa bisa esok tahu sore
tempe?.apakah kepala BPN sebelumnya mengetahui
bahwa tanah tsb dimiliki oleh Dinas
Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI sebagaimana pernyatan Damarjuni,yang mengaku
akan mensertipikatkan tanah tsb. Pengadaan tanah sebelumnya dilakukan oleh
panitia pembebasan tanah sesuai Permendagri Nomor 15 tahun 1975, sebelum diganti dengan Keppres
No55 tahun 1993. tentang pengadaan tanah
untuk pembangunan.. Kalau hall ini benar ada pembebasasn tanah, tentu BPN
memiliki arsip pembebasannya, demikian pula pemprov DKI. Sebagaimana diketahui,
kepemilikan tanah tidak mengenal kadaluwarsa, sehingga sampai kapanpun, kalau
memang pemprov DKI merasa memiliki, masih bisa menggugat kepemilikannya.
3. Tertib administrasi pertanahan
pemprov DKI saya duga dalam keadaan darurat, memerlukan penanganan serius,
keadaan ini sudah bertahun tahun terjadi dan baru sekarang ini mencuat dalam
kasus kasus besar. Tanah seluas 4,6 hektare saja bisa hilang apalagi tanah yang
kecil kecil, yang luasnya beberapa ratus atau ribu meter persegi. Berapa
potensi kerugian pemprov dari hilangnya asset tanah tsb. Oleh karena itu,
manfaatkan seluruh aparat pemprov untuk mengawasi asset secara btransparan, dan
lakukan tertib administrasi asset dengan menggunakan digitalisasi data fisik
dan data yuridis. Lengkapi alat bukti sesuai yang ditunjukkan dalam PP No
24/1997 Yo PMNA/Ka BPN Nomor 3 tahun
1997, tentang pelaksanaan pendaftaran tanah. Bukan tidak mungkin akan terjadi
ledakan kassus yang lebih besar dari sekedar 4,6 hektare di Jakarta, apabila
pemprov DKI masih terlena dan terpukau dengan gaya sang gubernurnya, sehingga
lupa membenahi asset berharganya.
No comments:
Post a Comment