WILAYAH KERJA PPAT
Menukik kedalam PP no
24 tahun 2016.
Pada tanggal 22 juni 2016, presiden RI telah menandatangani
PP no 24 th 2016, tentang Perubahan PP Nomor 38 th 1998, tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Yang menarik adalah adanya perubahan
wilayah kerja/daerah kerja PPAT, yang sebelumnya hanya sebatas wilayah
kabupaten/kota, menjadi wilayah propinsi. Jadi
sekarang ini, seorang PPAT yang memiliki wilayah kerja di kabupaten
kecil yang sepi, bisa membuat akta tanah dikota besar di ibukota propinsi dan
sebaliknya. Kondisi demikian bisa membuat persaingan para PPAT menjadi lebih semarak
karena masyarakat pengguna :
1.
Pasti
ingin mendapatkan harga yang murah. Disamping itu penempatan PPAT tidak lagi
menjadi persoalan diantara PPAT, asal mereka gigih mencari klient diseluruh propinsi
wilayah kerja barunya berdasarkan peraturan yang baru.
2.
Masyarakat
hendaknya lebih waspada terutama yang memiliki tanah tanah kosong, dan tidak
terawat, dari intaian para mafia tanah. Hendaknya tanahnya itu sering diawasi,
dan dikerjakan secara produktip, tidak dibiarkan sampai harga tanahnya
melambung tinggi.
3.
Lapangan
kerja non formal menjadi lebijh terbuka dibidang ke ppat an ini, karena akan
muncul marketing marketing baru pertanahan dari para ppat. Peran marketing
menjadi amat penting sebagai perpanjangan tangan ppat ybs.
4.
Atas
nama pelayanan masyarakat , bisa jadi pembacaan akta sebagai syarat mutlak
pembuatan aktanya, berpotensi mulai ditinggalkan oleh ppat, misalnya dengan
menugaskan asistennya untuk membacakan aktanya, sehingga ppat tinggal
tandatangan akta. Jadi bukan para pihak yang datang kekantor ppat, tetapi
berkasnya saja, untuk kecepatan dan
efisiensi pelayanan akta ppat. Mudah mudahan hal ini tidak terjadi dilapangan,
karena dapat mengakibatkan batalnya akta yang dibuatnya.
Bagi para ppat, perubahan wilayah kerja ini, menjadikan
leluasa bergerak dan harus melakukan perubahan perubahan, antara lain :
1.
Para
ppat memerlukan penyumpahan ulang yang dilakukan di propinsi, karena akan
membuat akta diluar wilayah kerjanya yang lama, dari wilayah kabupaten/kota
menjadi wilayah propinsi ybs.
2.
Para
ppat harus merubah stempel kantor, kop surat ppat, papan nama ppat, dll menjadi
stempel, kop surat dan papan nama, yang memiliki wilayah kerja propinsi, yang
semula wilayah kerja kabupaten/kota.
3.
Para
ppat memperkenalkan diri kembali kepada semua kepala BPN Kabupaten/kota, pengadilan negeri, ptun dan
kepala kantor pos diseluruh kabapaten/kota dalam propinsi diwilayah kerjanya, mungkinkah
hanya cukup memperkenalkan diri kepada kepala BPN ,ketua pengadilan tinggi dan
kepala kantor pos tingkat propinsi dengan menyertakan contoh tandatangan dan
parapnya?. Saya kira tidak demikian.
4.
Lebih
mudah memindahkan kantor ppat, di
wilayah kerjanya yang meliputi seluruh wilayah propinsi ybs. Misalnya dari
wilayah terpencil di keamatan kemudian pindah keibukota pripinsi tanpa melalui
prosedur yang rumit, mungkin cukup memberitahukan kepada Kanwil propinsi baik
kanwil BPN maupun kanwil Kehakiman, karena
kantor Notaris dan PPAT memiliki satu kantor yang sama.
5.
Para
ppat mungkin harus membuat laporan bulanan kepada setiap kepala kantor pertanahan
kabupaten/kota di propinsi itu, walaupun nihil sekalipun. Misalnya seorang ppat di jawa tengah harus membuat laporan
bulanan kepada 34 kabupaten/kota di Jawa Tengah terhadap akta yang dibuatnya
diwilayah itu walaupun nihil. Kondisi ini cukup merepotkan para ppat.
6.
Para
ppat dituntut untuk lebih mewaspadai wilayah wilayah rawan sengketa di propinsi ybs, terutama surat girik/ sertipikat ganda maupun
sengketa perdata yang sedang berlangsung di pengadilan. Sengketa pengadilan
kadang berlangsung lama sekali.
7.
Para
ppat juga harus lebih teliti dan cermat, terutama terhadap para mafia tanah
yang pasti akan memanfaatkan peluang ini,dengan membawa berkas tanah bermasalah
kepada ppat ditempat lain diluar kota, diwilayah propinsi ybs.
Bagi BPN, PP nomor 24 tahun 2016 ini, merupakan langkah
spetakuler yang menurut dugaan saya terinspirasi wilayah kerja Notaris atau
mungkin, bisa jadi keberhasilan lobby Ikatan Notaris dalam proses pembuatan PP
tersebut, atau ini memang ide pemerintah. Akibat perubahan wilayah kerja ini, maka :
1.
BPN
harus merubah SK setiap ppat yang tadinya memilik wilayah kerja kabupaten/kota
menjadi wilayah kerja propinsi.
2.
BPN
menarik kembali kewenangan ke-ppat-an yang semula kepada daerah tingkat II
kepada daerah Propinsi (Kanwil BPN) ,seperti penyumpahan ppat, tekhnis pelaporan
dan penyampaian berkas akta ppat perlu disesuaikan dengan PP yang baru dll.
3.
Petunjuk
tekhnis ppat yang pindah kantor diwilayah kerjanya agar tidak terjadi
pemindahan ppat atas pertimbangan pribadi ppat ybs, mengingat masih diwilayah
kerjanya. Misalnya ppat yang berkantor di kecamatan sepi karena merasa memiliki
wilayah kerja se propinsi, maka ppat ybs kemudian pindah keibukota propinsi,
atau kota lain di propinsi ybs.
4.
BPN
perlu memberikan pengenalan wilayah rawan sengketa di propinsi ybs sebagai
pedoman ppat dalam melayani masyarakat lintas kabupaten/kota diluar kantornya.
Agar ppat lebih waspada terhadap permintaan pembuatan akta ppat.
5.
Perlu
peningkatan eselon ppat ditingkat propinsi setingkat eselon III, agar
penanganan ke-ppat-an menjadi lebih fokus, bukan sekedar eselon IV. Karena
melayani para ppat yang berpendidikan strata 2, dan permasalahannya lintas
kabupaten/kota.
6.
Memudahkan
pembuatan akta yang tanahnya berada dilintas kabupaten dalam satu propinsi,
seperti tanah tanah HGU yang luas.
Bagi lembaga peradilan, agar:
1.
menjalin komunikasi secara lebih komprehensif
dengan kanwil BPN maupun kantor BPN kabupaten/kota, dan para Notaris/ppat,
terutama terhadap sengketa pertanahan yang sedang berlangsung di lembaga
peradilan, baik yang kepadanya diletakkan CB maupun yang tidak, agar
persengketaan tidak menjadi lebih rumit.
2.
Perlu
dilakukan kerjasama dengan BPN, terutama terhadap tanah tanah yang dilakukan
sita tetapi belum bersertipikat tanah, sehingga BPN bisa melakukan pencatatan
dengan lebih baik, agar tidak kecolongan, terutama diwilayah kerja BPN yang
belum memiliki peta dasar pendaftaran tanah.
3.
Setiap
terjadi persengketaan tanah, agar tidak terdapat salah penafsiran lokasi,
sebaiknya BPN disertakan dalam menetapkan lokasi sengketa, agar eksekusinya
kelak juga tidak bermasalah.
4.
Dll.
Sedang bagi pemerintah daerah
Propinsi :
1.
Dengan
perubahan wilayah kerja PPAT yang sama dengan wilayah kerja Notaris, yaitu
Propinsi, maka perlu dipikirkan pelaksanaan pelantikan dan penyumpahan
Notaris/ppat dilakukan bersamaan oleh Gubernur.
2.
Apabila
otonomi ke-ppat-an ini diletakkan ke tingkat propinsi, maka perlu dipikirkan
seleksi pengangkatan pembinaan, maupun pemberhentian ppat dapat dilakukan oleh Gubernur. Atau melalui
dekonsentrasi seperti Propinsi bertambah
luas.
Terakhir bagi para mafia pertanahan,
maka terbitnya PP ini dapat menjadi peluang untuk membuat celah dalam aksinya
dengan :
1.
Membuat
surat surat tanah palsu, kemudian dijual dengan harga miring, yang akta jual
belinya diserahkan kepada ppat diluar kota, lebih lebih kepada ppat yang sepi
dengan iming iming honor tinggi, kasus
tanah pemda di Cengkareng hendaknya bisa menjadi catatan bagi para ppat maupun BPN
dll.
Sehubungan dengan hal hal diatas, saya berpendapat sebagai
berikut:
1.
Perubahan
wilayah kerja PPAT dari wilayah kabupaten/kota menjadi wilayah propinsi perlu diikuti
dengan petunjuk tekhnis yang jelas, sehingga perubahan ini tidak menjadi celah
bagi para mafia pertanahan, terutama dikota kota besar seperti Jakarta, medan,
Surabaya dsb.
2.
Berikanlah
kewenangan yang lebih besar kepada wilayah Propinsi melalui dekonsentrasi dalam
bidang ke-PPAT-an agar kanwil propinsi menjadi lebih hidup, selama ini ada
pendapat kanwil propinsi hanyalah sebagai tempat buangan pegawai dari
kabupayten/kota.
3.
Sebaiknya
sistem pelaporan on line melalui web site masing masing kanwil BPN dan terintegrasi
dengan kantor pertanahan kabupaten /kota, bisa dilaksanakan untuk memudahkan cek
and recek terhadap akta ppat disetiap propinsi.
4.
Peningkatan
eselon di kanwil BPN propinsi menjadi ewelon III bidang ke-ppat-an agar ada
dekonsentrasi kewenangan pusat ke propinsi.
Demikian secara singkat penukikan
kedalam mengenai perubahan wilayah ppat berdasarkan PP Nomor 24 tahun 2016. Terima
kasih.
No comments:
Post a Comment