Tuesday, July 12, 2016

WILAYAH KERJA PPAT.....



                            WILAYAH KERJA PPAT
Menukik kedalam PP no 24 tahun 2016.

Pada tanggal 22 juni 2016, presiden RI telah menandatangani PP no 24 th 2016, tentang Perubahan PP Nomor 38 th 1998, tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Yang menarik adalah adanya perubahan wilayah kerja/daerah kerja PPAT, yang sebelumnya hanya sebatas wilayah kabupaten/kota, menjadi wilayah propinsi. Jadi  sekarang ini, seorang PPAT yang memiliki wilayah kerja di kabupaten kecil yang sepi, bisa membuat akta tanah dikota besar di ibukota propinsi dan sebaliknya. Kondisi demikian bisa membuat persaingan para PPAT menjadi lebih semarak karena masyarakat pengguna :
1.   Pasti ingin mendapatkan harga yang murah. Disamping itu penempatan PPAT tidak lagi menjadi persoalan diantara PPAT, asal mereka gigih mencari klient diseluruh propinsi wilayah kerja barunya berdasarkan peraturan yang baru.
2.   Masyarakat hendaknya lebih waspada terutama yang memiliki tanah tanah kosong, dan tidak terawat, dari intaian para mafia tanah. Hendaknya tanahnya itu sering diawasi, dan dikerjakan secara produktip, tidak dibiarkan sampai harga tanahnya melambung tinggi.
3.   Lapangan kerja non formal menjadi lebijh terbuka dibidang ke ppat an ini, karena akan muncul marketing marketing baru pertanahan dari para ppat. Peran marketing menjadi amat penting sebagai perpanjangan tangan ppat ybs.
4.   Atas nama pelayanan masyarakat , bisa jadi pembacaan akta sebagai syarat mutlak pembuatan aktanya, berpotensi mulai ditinggalkan oleh ppat, misalnya dengan menugaskan asistennya untuk membacakan aktanya, sehingga ppat tinggal tandatangan akta. Jadi bukan para pihak yang datang kekantor ppat, tetapi berkasnya saja, untuk  kecepatan dan efisiensi pelayanan akta ppat. Mudah mudahan hal ini tidak terjadi dilapangan, karena dapat mengakibatkan batalnya akta yang dibuatnya.
Bagi para ppat, perubahan wilayah kerja ini, menjadikan leluasa bergerak dan harus melakukan perubahan perubahan, antara lain :
1.   Para ppat memerlukan penyumpahan ulang yang dilakukan di propinsi, karena akan membuat akta diluar wilayah kerjanya yang lama, dari wilayah kabupaten/kota menjadi wilayah propinsi ybs.
2.   Para ppat harus merubah stempel kantor, kop surat ppat, papan nama ppat, dll menjadi stempel, kop surat dan papan nama, yang memiliki wilayah kerja propinsi, yang semula wilayah kerja kabupaten/kota.
3.   Para ppat memperkenalkan diri kembali kepada semua kepala BPN  Kabupaten/kota, pengadilan negeri, ptun dan kepala kantor pos diseluruh kabapaten/kota dalam propinsi diwilayah kerjanya, mungkinkah hanya cukup memperkenalkan diri kepada kepala BPN ,ketua pengadilan tinggi dan kepala kantor pos tingkat propinsi dengan menyertakan contoh tandatangan dan parapnya?. Saya kira tidak demikian.
4.   Lebih mudah memindahkan kantor ppat,  di wilayah kerjanya yang meliputi seluruh wilayah propinsi ybs. Misalnya dari wilayah terpencil di keamatan kemudian pindah keibukota pripinsi tanpa melalui prosedur yang rumit, mungkin cukup memberitahukan kepada Kanwil propinsi baik kanwil BPN maupun kanwil Kehakiman, karena  kantor Notaris dan PPAT memiliki satu kantor yang sama.
5.   Para ppat mungkin harus membuat laporan bulanan kepada setiap kepala kantor pertanahan kabupaten/kota di propinsi itu, walaupun nihil sekalipun. Misalnya seorang  ppat di jawa tengah harus membuat laporan bulanan kepada 34 kabupaten/kota di Jawa Tengah terhadap akta yang dibuatnya diwilayah itu walaupun nihil. Kondisi ini cukup merepotkan para ppat.
6.   Para ppat dituntut untuk lebih mewaspadai wilayah wilayah  rawan sengketa di propinsi ybs,  terutama surat girik/ sertipikat ganda maupun sengketa perdata yang sedang berlangsung di pengadilan. Sengketa pengadilan kadang berlangsung lama sekali.
7.   Para ppat juga harus lebih teliti dan cermat, terutama terhadap para mafia tanah yang pasti akan memanfaatkan peluang ini,dengan membawa berkas tanah bermasalah kepada ppat ditempat lain diluar kota, diwilayah propinsi ybs.
Bagi BPN, PP nomor 24 tahun 2016 ini, merupakan langkah spetakuler yang menurut dugaan saya terinspirasi wilayah kerja Notaris atau mungkin, bisa jadi keberhasilan lobby Ikatan Notaris dalam proses pembuatan PP tersebut, atau ini memang ide pemerintah.  Akibat perubahan wilayah kerja ini, maka :
1.   BPN harus merubah SK setiap ppat yang tadinya memilik wilayah kerja kabupaten/kota menjadi wilayah kerja propinsi.
2.   BPN menarik kembali kewenangan ke-ppat-an yang semula kepada daerah tingkat II kepada daerah Propinsi (Kanwil BPN) ,seperti penyumpahan ppat, tekhnis pelaporan dan penyampaian berkas akta ppat perlu disesuaikan dengan PP yang baru dll.
3.   Petunjuk tekhnis ppat yang pindah kantor diwilayah kerjanya agar tidak terjadi pemindahan ppat atas pertimbangan pribadi ppat ybs, mengingat masih diwilayah kerjanya. Misalnya ppat yang berkantor di kecamatan sepi karena merasa memiliki wilayah kerja se propinsi, maka ppat ybs kemudian pindah keibukota propinsi, atau kota lain di propinsi ybs.
4.   BPN perlu memberikan pengenalan wilayah rawan sengketa di propinsi ybs sebagai pedoman ppat dalam melayani masyarakat lintas kabupaten/kota diluar kantornya. Agar ppat lebih waspada terhadap permintaan pembuatan akta ppat.
5.   Perlu peningkatan eselon ppat ditingkat propinsi setingkat eselon III, agar penanganan ke-ppat-an menjadi lebih fokus, bukan sekedar eselon IV. Karena melayani para ppat yang berpendidikan strata 2, dan permasalahannya lintas kabupaten/kota.    
6.   Memudahkan pembuatan akta yang tanahnya berada dilintas kabupaten dalam satu propinsi, seperti tanah tanah HGU yang luas.
Bagi lembaga peradilan, agar:
1.    menjalin komunikasi secara lebih komprehensif dengan kanwil BPN maupun kantor BPN kabupaten/kota, dan para Notaris/ppat, terutama terhadap sengketa pertanahan yang sedang berlangsung di lembaga peradilan, baik yang kepadanya diletakkan CB maupun yang tidak, agar persengketaan tidak menjadi lebih rumit.
2.   Perlu dilakukan kerjasama dengan BPN, terutama terhadap tanah tanah yang dilakukan sita tetapi belum bersertipikat tanah, sehingga BPN bisa melakukan pencatatan dengan lebih baik, agar tidak kecolongan, terutama diwilayah kerja BPN yang belum memiliki peta dasar pendaftaran tanah.
3.   Setiap terjadi persengketaan tanah, agar tidak terdapat salah penafsiran lokasi, sebaiknya BPN disertakan dalam menetapkan lokasi sengketa, agar eksekusinya kelak juga tidak bermasalah.
4.   Dll.
Sedang bagi pemerintah daerah Propinsi :
1.   Dengan perubahan wilayah kerja PPAT yang sama dengan wilayah kerja Notaris, yaitu Propinsi, maka perlu dipikirkan pelaksanaan pelantikan dan penyumpahan Notaris/ppat dilakukan bersamaan oleh Gubernur.
2.   Apabila otonomi ke-ppat-an ini diletakkan ke tingkat propinsi, maka perlu dipikirkan seleksi pengangkatan pembinaan, maupun pemberhentian  ppat dapat dilakukan oleh Gubernur. Atau melalui dekonsentrasi  seperti Propinsi bertambah luas.
Terakhir bagi para mafia pertanahan, maka terbitnya PP ini dapat menjadi peluang untuk membuat celah dalam aksinya dengan :
1.   Membuat surat surat tanah palsu, kemudian dijual dengan harga miring, yang akta jual belinya diserahkan kepada ppat diluar kota, lebih lebih kepada ppat yang sepi dengan iming iming honor tinggi,  kasus tanah pemda di Cengkareng     hendaknya  bisa menjadi catatan bagi para ppat maupun BPN dll.
Sehubungan dengan hal hal diatas, saya berpendapat sebagai berikut:
1.   Perubahan wilayah kerja PPAT dari wilayah kabupaten/kota menjadi wilayah propinsi perlu diikuti dengan petunjuk tekhnis yang jelas, sehingga perubahan ini tidak menjadi celah bagi para mafia pertanahan, terutama dikota kota besar seperti Jakarta, medan, Surabaya dsb.
2.   Berikanlah kewenangan yang lebih besar kepada wilayah Propinsi melalui dekonsentrasi dalam bidang ke-PPAT-an agar kanwil propinsi menjadi lebih hidup, selama ini ada pendapat kanwil propinsi hanyalah sebagai tempat buangan pegawai dari kabupayten/kota.
3.   Sebaiknya sistem pelaporan on line melalui web site masing masing kanwil BPN dan terintegrasi dengan kantor pertanahan kabupaten /kota, bisa dilaksanakan untuk memudahkan cek and recek terhadap akta ppat disetiap propinsi.
4.   Peningkatan eselon di kanwil BPN propinsi menjadi ewelon III bidang ke-ppat-an agar ada dekonsentrasi kewenangan pusat ke propinsi.
Demikian secara singkat penukikan kedalam mengenai perubahan wilayah ppat berdasarkan PP Nomor 24 tahun 2016. Terima kasih.


No comments:

Post a Comment