Thursday, August 18, 2016

PERMISI, REMISI....



PERMISI, REMISI..
Hasil gambar untuk nazaruddin dan gayus

Menkum HAM Yasonna memberi remisi ke napi koruptor, antara lain Nazaruddin dan Gayus Tambunan. Alasan pemberian remisi ini karena Lapas penuh. Dari data Kemenkum HAM sendiri, hingga Juli tahun ini, hanya 4.907. Angka napi korupsi ini amat rendah dibandingkan napi kasus narkoba yang mencapai 77 ribu.
Ketua KPK Agus Rahardjo tegas menolak revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012. Penolakan itu disebut Agus karena dasar revisi tersebut hanya berlandaskan overcapacity rumah tahanan dan mempermudah narapidana tindak pidana korupsi mendapatkan remisi. (sumber : detik.com),
Remisi adalah pengurangan hukuman, yang diberikan pemerintah kepada narapidana, karena selama pembinaan ybs dinilai berkelakuan baik. Remisi terhadap koruptor, diwacanakan diperlonggar oleh menkumham, karena kapasitas lembaga pemasyarakatam melampaui kapasitasnya. Namun alasan itu tidak mencerminkan data
yang ada,sebagaimana bisa dibaca pada detik.com diatas,
Menurut pendapat saya, remisi merupakan pranata produk orde baru, yang masih berlaku sampai saat ini. Produk yang pada dasarnya  untuk memberi keringana itu, kemudian didalam prakteknya, sering menimbulkan kontroversi yang melukai hati rakyat. Seperti berita terbaru yang memberikan remisi untuk Gayus Tambunan dan Nazaruddin. Sepertinya ada tangan ntangan yang tidak kelihatan untuk bermain.
Sebenarnya siapakah yang memiliki kewenangan memberikan remisi itu? Lembaga yudikatip ataukah lembaga eksekutip? 
Pasal 34B PP nomor 99 tahun 2012 menyatakan bahwa :
(1)Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) diberikan oleh Menteri.
(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
(3) Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan oleh menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan dari Menteri.
(4) Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Dari pasal itu jelas bahwa remisi atau pengurangan hukuman diberikan oleh Eksekutip, bukan lembaga Yudikatip.

UU Nomor 8 tahun 2004 pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa.Pembinaan yang dilakukan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa
Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
Ajaran Montesqueu yang dikenal dengan trias Politika, membagi kekuasaan kedalam tiga poros organisasi kekuasaan, yaitu :
1.  Kekuasaan membuat undang undang atau legislatip.
2.  Kekuasaan melaksanakan undang undang atau eksekutip.
3.  Dan kekuasaan untuk menegakkan undang undang yang disebut yudikatip. Ketiga poros kekuasaan itu masing masing terpisah, baik sumber daya manusianya maupun organisasi kekuasaannya..

Indonesia tidak mengenal pembagian kekuasaan secara tegas seperti ajaran Montesqueu tsb.Bahwa rem
Bahwa  remisi, menunjukkan perbedaan ketatanegaraan Indonesia dengan ajaran Tria Politika itu, karena remisi bisa mengubah masa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim sebagai pemegang keuasaan yudikatip dengan cara mengurangi hukuman yang sudah dijatuhkan hakim. Remisi tidak dilaksanakan hakim tetapi oleh Menteri kehakiman atau pihak eksekutip.
Pada masa sekarang ini, remisi menjadi potensi penyalahgunaan wewenang oleh eksekutip berupa suap suap aparat. Narapidana gemuk atau berduwit, maupun narapidana dari partai politik berpeluang mendapatkan remisi yang maksimum, terutama narapidana politik pendukung pemerintah.
Pekerjaan membuat remisi juga seperti pekerjaan yang mubazir, menghabiskan tenaga, pikiran dan biaya negara, sementara potensi penyalahgunaannya juga besar, seperti remisi terhadap Gayus dan Nazaruddin patut dipertanyakan, apakah ada udang dibalik rempeyeknya??.
Melalui tulisan ini, saya mengusulkan agar :
1.    Remisi hukuman dihapuskan saja, tetapi langsung diperhitungkan dalam putusan hakim pengadilan, karena hukuman merupakan wewenang lembaga yudikatip. Eksekutip hanya melaksanakan putusan hakim, jadi tidak boleh mengurangi putusan hakim.
2.    Sekiranya tetap harus ada remisi, maka presidenlah yang lebih tepat untuk memberikannya, seperti halnya dengan grasi. Atau jika Menteri juga yang memberikan remisi, maka menteri ybs bertindak untuk dan atas nama presiden, walaupun menteri itu juga sebagai pembantu presiden.
3.    Remisi jika masih dipertahankan memang seharusnya hanya untuk terpidana yang mendapat hukuman ringan, misalnya dibawah 5 tahun, atau kejahatan yang tidak berdampak luas, seperti narkoba, terorisme, korupsi, perdagangan manusia, maupun  pelaku kejahatan yangf berulang ulang dsb.
4.    Hakim dalam menjatuhkan putusan, sebaiknya memiliki rumusan yang jelas yang diatur dalam undang undang, agar tidak menimbulkan kontroversi dimasyarakat dan bisa diikuti secara transparan, terutama putusan putusan yang bisa dinilai dengan uang rupiah, seperti korupsi, suap dsb. rumusan itu perlu mengikutsertakan indikator, upah minimum kabupaten/kota atau propinsi, dimana kejahatan itu terjadi, maupun remisi itu dan indikator lainnya.
5.    Dengan penghapusan remisi, banyak keuntungan yang bisa diambil, seperti efisiensi tenaga aparat, biaya negara, pikiran dsb.   
 Demikian tulisan singkat untuk menjadi pertimangan siapa saja yang merasa memiliki kepentingan maju..ya bro......??
`                                                                                                  
 

No comments:

Post a Comment