PERMISI, REMISI..
Menkum HAM Yasonna
memberi remisi ke napi koruptor, antara lain Nazaruddin dan Gayus Tambunan.
Alasan pemberian remisi ini karena Lapas penuh. Dari data Kemenkum HAM
sendiri, hingga Juli tahun ini, hanya 4.907. Angka napi korupsi ini amat rendah
dibandingkan napi kasus narkoba yang mencapai 77 ribu.
Ketua KPK Agus Rahardjo
tegas menolak revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012. Penolakan
itu disebut Agus karena dasar revisi tersebut hanya berlandaskan overcapacity
rumah tahanan dan mempermudah narapidana tindak pidana korupsi mendapatkan
remisi. (sumber : detik.com),
Remisi adalah pengurangan hukuman, yang diberikan pemerintah
kepada narapidana, karena selama pembinaan ybs dinilai berkelakuan baik. Remisi
terhadap koruptor, diwacanakan diperlonggar oleh menkumham, karena kapasitas
lembaga pemasyarakatam melampaui kapasitasnya. Namun alasan itu tidak
mencerminkan data
yang ada,sebagaimana bisa dibaca pada detik.com diatas,
Menurut pendapat saya, remisi merupakan pranata produk orde
baru, yang masih berlaku sampai saat ini. Produk yang pada dasarnya untuk memberi keringana itu, kemudian didalam
prakteknya, sering menimbulkan kontroversi yang melukai hati rakyat. Seperti
berita terbaru yang memberikan remisi untuk Gayus Tambunan dan Nazaruddin. Sepertinya ada tangan ntangan
yang tidak kelihatan untuk bermain.
Sebenarnya siapakah yang memiliki kewenangan memberikan
remisi itu? Lembaga yudikatip ataukah lembaga eksekutip?
Pasal 34B PP
nomor 99 tahun 2012 menyatakan bahwa :
(1)Remisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) diberikan
oleh Menteri.
(2) Remisi untuk
Narapidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
34 A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari
menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
(3) Pertimbangan
tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
disampaikan oleh menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan dari
Menteri.
(4) Pemberian
Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Dari pasal
itu jelas bahwa remisi atau pengurangan hukuman diberikan oleh Eksekutip, bukan
lembaga Yudikatip.
UU Nomor 8 tahun 2004 pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa.Pembinaan yang dilakukan Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 12 ayat
(1) UU Nomor 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa
Hakim
Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
Ajaran
Montesqueu yang dikenal dengan trias Politika, membagi kekuasaan kedalam tiga
poros organisasi kekuasaan, yaitu :
1.
Kekuasaan membuat
undang undang atau legislatip.
2. Kekuasaan melaksanakan undang undang
atau eksekutip.
3. Dan kekuasaan untuk menegakkan
undang undang yang disebut yudikatip. Ketiga poros kekuasaan itu masing masing terpisah,
baik sumber daya manusianya maupun organisasi kekuasaannya..
Indonesia
tidak mengenal pembagian kekuasaan secara tegas seperti ajaran Montesqueu tsb.Bahwa rem
Bahwa remisi, menunjukkan perbedaan ketatanegaraan
Indonesia dengan ajaran Tria Politika itu, karena remisi bisa mengubah masa
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim sebagai pemegang keuasaan yudikatip dengan
cara mengurangi hukuman yang sudah dijatuhkan hakim. Remisi tidak dilaksanakan
hakim tetapi oleh Menteri kehakiman atau pihak eksekutip.
Pada masa sekarang ini, remisi
menjadi potensi penyalahgunaan wewenang oleh eksekutip berupa suap suap aparat.
Narapidana gemuk atau berduwit, maupun narapidana dari partai politik
berpeluang mendapatkan remisi yang maksimum, terutama narapidana politik
pendukung pemerintah.
Pekerjaan membuat remisi juga seperti
pekerjaan yang mubazir, menghabiskan tenaga, pikiran dan biaya negara,
sementara potensi penyalahgunaannya juga besar, seperti remisi terhadap Gayus
dan Nazaruddin patut dipertanyakan, apakah ada udang dibalik rempeyeknya??.
Melalui tulisan ini, saya mengusulkan
agar :
1. Remisi
hukuman dihapuskan saja, tetapi langsung diperhitungkan dalam putusan hakim
pengadilan, karena hukuman merupakan wewenang lembaga yudikatip. Eksekutip hanya
melaksanakan putusan hakim, jadi tidak boleh mengurangi putusan hakim.
2. Sekiranya tetap
harus ada remisi, maka presidenlah yang lebih tepat untuk memberikannya,
seperti halnya dengan grasi. Atau jika Menteri juga yang memberikan remisi,
maka menteri ybs bertindak untuk dan atas nama presiden, walaupun menteri itu
juga sebagai pembantu presiden.
3. Remisi jika
masih dipertahankan memang seharusnya hanya untuk terpidana yang mendapat
hukuman ringan, misalnya dibawah 5 tahun, atau kejahatan yang tidak berdampak
luas, seperti narkoba, terorisme, korupsi, perdagangan manusia, maupun pelaku kejahatan yangf berulang ulang dsb.
4. Hakim dalam
menjatuhkan putusan, sebaiknya memiliki rumusan yang jelas yang diatur dalam
undang undang, agar tidak menimbulkan kontroversi dimasyarakat dan bisa diikuti
secara transparan, terutama putusan putusan yang bisa dinilai dengan uang
rupiah, seperti korupsi, suap dsb. rumusan itu perlu mengikutsertakan
indikator, upah minimum kabupaten/kota atau propinsi, dimana kejahatan itu
terjadi, maupun remisi itu dan indikator lainnya.
5. Dengan
penghapusan remisi, banyak keuntungan yang bisa diambil, seperti efisiensi tenaga
aparat, biaya negara, pikiran dsb.
Demikian tulisan singkat untuk menjadi
pertimangan siapa saja yang merasa memiliki kepentingan maju..ya bro......??
`
No comments:
Post a Comment