SEKOLAH PARLEMEN
INDONESIA.
Berita Kompas Juma’at
26 Agustus 2016, pimpinan DPR telah
menggagas pembentukan Sekolah parlemen untuk meningkatkan kwalitas kinerja
legislatip baik di pusat maupun didaerah, termasuk para caleg, agar memenuhi
ekpekstasi publik, kinerja dewan agar lebih berkwalitas, baik dalam pembuatan
undang undang, pengawasan maupun penyusunan anggaran negara. Dari survey SMRC
sejak 2005 sampai 2016, tingkat kepercayaan publik pada DPR terbilang rendah,
berkisar antara 40 hingga 50 persen (sumber .KOMPAS, 26 Ag8ustus 2016)
Gagasan pimpinan DPR
ini, sebenarnya baik karena para pimpinan DFPR melihat kalau kinerja sementara
anggota DPR memang tidak maksimal, karena kurangnya kemampuan dalam berpolitik
praktis. Kebanyakan mereka dicalonkan karena elektabilitasnya yang tinggi
dimasyarakat, seperti para artis dan selebrity lainnya yang mendadak berubah
aktifitas menjadi anggota DPR.
Selama ini dari ratusan
anggota DPR,yang menghiasi halaman surat kabar sehari hari bisa dihitung dengan
jari. Relatip tidak ada atau mungkin hanya satu dua selebrity yang muncul
dipemberitaan ,namun tidak ada bobot pendapatnya dalam menyikapi persoalan.
Ditengah pemangkasan
anggaran pemerintah, munculnya gagasan ini kurang tepat dari segi waktunya dan
biaya yang mungkin timbul. Karena menyelenggarakan pendidikan parlemen ini,
seperti sudah ketinggalan kereta.
Menurut hemat saya,
gagasan ini sementara disimpan dulu sebagai gagasan, karena bisa menisbikan
perguruan tinggi yang seperti jamur sekarang ini. Yang lebih penting menurut
saya adalah, sebelum menjadi calon legislatip, perlu pengurus partai menseleksi
secara akademik tentang calon ybs. Dewan atau KPU perlu membuat rambu rambu/aturan
persyaratan menjadi calon anggota dewan, yang menurut saya adalah :
1. Memiliki pengalaman organisasi di kepartaian minimal 3 tahun sebagai kader
partai dikabupaten/kota,untuk menjadi anggota DPRD II dan 4 tahun dipropinsi untuk
menjadi DPRD I, serta 5 tahun di pusat. Untuk menjadi anggota DPR.
2. Berpendidikan tinggi, minimal sarjana S1 pada saat menjadi calon anggota
Legislatip.
3. Apabila calon tidak memiliki pendidikan tinggi, maka memiliki massa
sebanyak satu buah kursi di dewan, yang dibuktikan dengan tandatangan dan KTP
massa pendukungnya. hal ini untuk mengeliminir calon karbitan. Untuk hal ini
perlu diverifikasi sebelum pemilu dilaksanakan.
4. Setelah penetapan daftar pemilih tetap, dilakukan kursus/training kepada
calon anggota, mengenai tugas dan fungsi anggota Dewan, ketatanegaraan,
legislasi (legal drafting) dll. oleh masing masing partai politik, dengan
materi yang disampaikan oleh para ahli tata negara dan ahli lainnya. Demikian pula
ditingkat Propinsi dan Kabupaten/kota. Saya kira Indonesia tidak kekurangan
ahli hukum.
5. Oleh karena diselenggarakan oleh partai politik, maka pemerintah
sebaiknya mendukung pendanaannya, tetapi tidak sepenuhnya, partai juga harus
ikut membiayainya. Dengan demikian beban pemerintah tidak terlalu berat, baik
dari pendanaan maupun pelaksanaannya. Ini termasuk pembinaan oleh partai kepada
kadernya..pelaksanaan kursus itu tidak perlu lama lama, membuat bosan
pesertanya, cukup sebulan saja atau kurang dari itu.
6. Partai politik harus menseleksi calon anggota dewan, tentang pemikiran pemikirannya
berkenaan dengan wilayah atau daerah pemilihannya, dengan detail. Jadi calon
bisa diminta membuat karya ilmiah menyangkut daerah pemilihannya dan partai
menilai layak tidaknya, baik dari segi pemikiran dan sistematika, tata cara
pembuatan karya ilmiah, bahasa, dan sebagainya. Dari hal ini sudah bisa
dinilai, apakah calon memnuhi persyaratan atau tidak.
Indonesia sudah semakin
maju, maka anggota dewan juga harus dipilih dari rakyat yang sudah maju
pemikirannya. Maka aturan perlu dibuat untuk anggota dewan itu sendiri. Mungkin
KPU perlu memikirkan hal ini untuk menyikapi pemikiran pembentukan sekolah
parlemen. Mudah mudahan sependapat yabro...tidak menghamburkan uang lebih
banyak, yang efisien saja....supaya tidak ada sekolah DPD. sekolah MPR, sekolah KPK dsb.....makasih.
No comments:
Post a Comment