Hari ini, pemerintah negeri
kayangan resmi menurunkan harga bbm di negerinya, dari yang semula jenis
premium seharga 6950, turun menjadi
6.450/liter. Solar yang tadinya 5.650,- menjadi 5.150,-/litar. Penurunan ini
atas perintah presiden, karena memang harga minyak dunia turun. Menurut logika
umum, kalau harga BBM turun, maka daya beli masyarakat akan menjadi lebih kuat
dan ada peningkatan kesejahteraan masyarakat negeri itu. Namun logika ini hanya
sepihak dalam arti hanya teori belaka, jika tidak diimbangi dengan turunnya
harga harga lainnya yang berkaitan dengan harga BBM, seperti sembako,
transportasi massal maupun non massal seperti gojek maupun crab bike yang baru
menjadikan sopir angkutan marah melalui demo yang berakhir rusuh itu.
Bahwa dari pengamatan dipasar
tradisional yang dimuat dimedia, ternyata harga sembako masih tetap mahal.
Seperti harga cabe yang masih melangit termasuk daging sapi yang selalu
dirisaukan oleh ibu ibu rumah tangga. Jadi kelihatannya ada penguasa dinegeri
kayangan ini, yang satu presiden yang bisa menurunkan dan menaikkan BBM dan
yang satu adalah para pedagang termasuk pengusaha pedagang yang bisa menaik
turunkan harga. Hal ini dicermati dari
penulisan di harian ibukota negerivkayangan itu (Pos Kota, jum’at 1
April 2016) dimana presiden memerintahkan tarif angkutan umum dan bahan pangan
serta merta harus juga turun. Hal ini seakan akan presiden hanya sebatas
meminta para pedagang untuk menurunkan harganya. Dilain sisi masyarakat
mendesak pemerintah untuk segera menstabilkan harga sembako agar tidak semakin
liar. Ujung ujungnya pemerintah negeri itu akan melakukan operasi pasar. Keadaan
ini akan berlangsung terus setiap ada penurunan vmaupun kenaikan harga. Jafi akan
menjadi pekerjaan rutine di negara kayangan ini.
Jadi kelihatannya fluktuasi harga
BBM yang selalu terjadi, akan berimbas kepada fluktuasi harga yang tidak selalu
terjadi tetapi dikaitkan dengan hukum penawaran. Setelah keputusan pemerintah
menaik/menurunkan harga BBM tidak secara otomatis diikuti dengan
kenaikan/penurunan harga secara signifikan. Logikanya harus ada perimbangan
harga yang dikaitkan dengan harga BBM. Kenapa
demikian?.
Permasalahan ini, menurut logika
saya menjadi domain DPR/DPRD sebagai wakil rakyat, yang harus membuat suatu
norma hukum secara komprehensif, jika ada kenaikan/penuruna BBM, maka juga harus
ada kenaikan/penurunan harga. Misalnya penurunan BBM 5% maka mesti ada
penurunan sekian persen maksimum 5%. Selanjutnya UU ini ditindaklanjuti dengan
peraturan Presiden selanjutnya ditindaklanjuti dengan peraturan Gubernur dan Bupati/walikota.
Peraturan bupati/walikota bersifat operasional karena yang dianggap paling tahu
harga diwilayahnya.
Dari peraturan yang dibuat tsb,
aparat terkait melaksanakannya, mengawasi dan termasuk penindakan secara hukum
apabila terjadi penyimpangan dilapangan sehingga ada keseragaman dan satu
ayunan langkah antara kebijakan dan
pelaksanaan serta penindakan hukum yang pada ujung ujungnya ada kepastian harga
dimasyarakat dan kesejahteraan masyarakat terwujudkan. Tinggal bagaimana
menyikapi fluktuasi harga BBM yang sudah dan akan selalu terjadi, dengan
sistematis antara pemerintah beserta aparatnya dan para wakil rakyat di
DPR/DPRD.
Intinya kebijakan pemerintah
sebaiknya satu paket yang mencakup harga BBM dan harga ikutannya seperti
sembako,transportasi, dll agar kestabilan masyarakat terjaga dengan baik.
Demikian kicauan widi untuk
direnungkan dan bisa menjadi masukan bapak bapak kita. Amin.
No comments:
Post a Comment