PENATAAN KAMPUNG
KUMUH.
(memanusiakan manusia).
hp : 082217084430,-
Akhir akhir ini, gubernur DKI jakarta,
gencar melakukan “ penggusuran” diperkampungan kumuh, dengan memakai alasan
revitalisasi sungai, mengatasi banjir dan penataan lingkungan. Warga tergusur
apabila telah mempunyai KTP Jakarta, disediakan rusunawa atau rumah susun sewa,
milik pemda DKI Jakarta. Akibatnya penduduk pendatang yang tidak memiliki KTP
DKI harus mengadu nasib lagi, bisa cari tempat lain ataupun pulang kampung seperti
penggusuran Kalijodo tempo hari. Bertepatan proyek proyek penggusuran mendekati
waktu pilkada jakarta,sehingga memicu pernyataan dimedia dari beberapa bakal
calon gubernur Jakarta. Sekecil apapun celah kelemahan Pemprov DKI menjadi
santapan lawan gubernur petahana yang sudah pasti mencalonkan kembali melalui
jalur non parpol, yaitu jalur perseorangan yang diusung Teman Ahok.
Pernyataan bakal calon gubernur
ada yang melontarkan pendapat kalau Pemprov DKI akan menggusur pemukiman warga,
tunjukkan bahwa pemprov telah memiliki sertipikat tanahnya. Pernyataan ini bisa
diartikan legalkah peenertiban yang dilakukan Pemda DKI medlaui cara seperti
yang sudah terjadi belakangan ini?. Bahwa DKI menggunakan kekuasaannya dengan
menggandeng TNI-Polri, memang terlalu berlebihan, dan cenderung mengintimidasi
rakyat, sehingga rakyat menjadi keder,
namun jika hanya memakai tenaga Satpol PP, tentu rakyat tergusur akan melawan
penggusuran, permasalahannya adalah, apakah
pendekatan yang dilakukan oleh Ahok, memang pendekatan penegakan hukum
tanah yang berlaku di Indonesia?. Kepada
siapakah tanah hasil penggusuran
diberikan prioritasnya untuk pemilikannya dan penggunaannya?. Apakah
kepada warga tergusur bisa diberikan ganti kerugian maupun kerohiman
sebagaimana yang sudah sudah dilakukan dalam proses pengadaan tanah?. Sederet
pertanyaan tersebut memerlukan jawaban, harus melalui pendekatan literatur dan
study lapangan. Kasus harus dilihat dengan lebih dekat dengan melihat bukti
bukti kepemilikan tanah warga. Namun pendekatan lapangan secara fisik harus menemui mereka yang tergusur, dan
hal ini tidak mungkin dilakukan. Maka satu satunya dengan pendekatan literatur,
yaitu melalui study peraturan perundangan pertanahan yang berlaku.
Kita tarik garis, mulai 24
September 1960, yaitu mulai berlakunya UUPA di Indonesia, yang sampai hari ini
masih berlaku, beserta turunannya berupa peraturan perundangan dibawahnya
seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri
Agraria dsb. Dilain sisi juga ada Peraturan daerah, Peraturan Gubernur dsb. Menurut tata urutan
perundangan sebagaimana disebut dalam UU No 10 tahun 2004, urutan perundangan
RI terdiri atas UUD – UU – PP – Perda. Disini dari PP bisa terbit Peraturan
Presiden, Instruksi presiden, dan dari Perda bisa muncul Pergub dan Instruksi
gub, ada peraturan Bupati maupun Instruksi bupati dsb. bisa terjadi peraturan2
tsb menjadi berbeda pandangan atau tidak sinkron.
Menurut UUPA, urusan hek atas
tanah dan pendaftaran tanah menjadi kewenangan pemerintah pusat yang dalam hal
ini dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional, sedang urusan pengaturan
persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah menjadi urusan pemerintah daerah.
Kewenangan pemda tercantum dalam pasal
14, sedang kewenangan BPN ada di pasal 19 UUPA. Oleh karena itu, menurut hemat
saya, peraturan vmenyangkutbhak hak tanjat warga menjadi domain pemerintah
pusat, yang dalam hal ini Badan Pedrtanahan Nasional dan jajarannya di daerah. Sedang
peraturan menyangkut peruntukan dan penggunaan tanah menjadi domain pemerintah
daerah.
Pada pasal peralihan dinyatakan
bahwa, selama peraturan pelaksanaan undang2 ini (UUPA) belum terbentuk, maka
peraturan peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak hak atas
tanah, yang ada pada mulai berlakunya undang undang ini, tetap berlaku,
sepanjangvtidak bertentangan dengan jiwa dari ketentaun ketentuan dalam undang
undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.
Sebelum berlakunya UUPA, terhadap
tanah tanah hak barat, berlaku hukum Perdata Barat/BW, sedang tanah tanah yang
belum memiliki hak barat tunduk pada aturan hukum adat setempat. Menurut hukum
adat, apabila seseorang akan membuka lahan, mereka izin kepada kepala adat
setempat. Hubungan antara penggarap tanah dengan tanahnya semakin lama semakin
erat, dan kemudian timbullah hak milik adat. Hak milik inilah yang menjadi hak
Utama atau hak prioritas untuk
memperoleh hak atas tanah menurut UUPA, yang dikenal dengan Hak Milik, Hak Guna
bangunan,Hak Pakaai dan hak Guna Usaha, yang semuanya memiliki tanda bukti
berupa sertipikat tanah. Pemegang hak prioritas inilah yang memiliki prioritas
utama memperoleh hak atas tanah. Jadi
dari segi keperdataan, penggarap memiliki hak yang kuat atas tanah tersebut. Karena
tanah tanah yang dimiliki warga banyak yang belum dilengkapi alat bukti,
apalagi sertipikat tanah dari BPN, maka Pembuktian hak hak lama ini, diakomodir
dalam pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dinyatakan sbb :
Pasal 24 ayat 2 sbb :
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara
lengkap alat alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak
dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang
bersangkutan selama 20 (duapuluh) tahun atau lebih secara terus berturut turut
oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :
1. Penguasaantersebut
dilakukan dengan itikadbaik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai
yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang
dapatdipercaya.
2. Penguasaan
tersebut, baik sebelum maupun sesudah pengumuman sebagaimana dimaksud pasal 26
tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan atau pihak lainnya.
Sebaliknya pemerintah daerah,
dulu juga memiliki tanah tanah, yang dikenal dengan tanah swa praja, yaitu
tanah negara yang dikuasai oleh pemda. Disamping itu pemda juga memiliki
kewenangan mengatur persediaan peruntukan dan penggunaan tanah, sebagimana
sudah disebut dalam pasal14 UUPA diatas.
Permasalahan yang muncul adalah,
apakah sebelum lahirnya UUPA ini, pemerintah telah memiliki legalitas perencanaan
ruang wilayah yang sekarang digusur itu? . pertanyaan selanjutnya apakah warga
yang mendiami lahan yang digusur itu
apakah sudah turun temurun menguasai tanah tsb, dan sejak kapan mulainya warga
menggarap lahan tersebut, termasuk yang kemudian terjadi peralihan peralihan
atas tanah tsb.
Apabila legalitas perencanaan tata ruang atas tanah yang digusur lebih dahulu dilakukan, maka penggarapan tanah oleh warga yang kemudian terjadi sebagai penggarapan tanah tanpa izin atau ilegal. Dalam hal ini pemda tidak keliru apabila dilakukan penggusuran, seperti penggusuran pedagang kakilima yang berdagang dipinggir pinggir jalan dan tempat tempat lainnya yang bukan untuk perdagangan. Sedangkan kalau legalitas perencanaan diterbitkan belakangan dari penggarapan warga, maka sudah sewajarnya apabila kepada mereka diberikan santunan, sebagaimana dalam hal terjadi pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti yang pernah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993. Keppres no 55/1993 telah diubah yang tidak saya ikuti lagi perkembangannya, namun saya berkeyakinan materi hak hak rakyat tidak dihapuskan begitu saja.
Pengadaan tanah bagi daerah yangt belum menetapkan rencana umum tata ruang , dilakukan berdasarkan perencanaan tata ruang wilayah kota yang telah ada. Sedang hak atas tanah adalah hak hak yang diatur dalam UUPA. Menurut hemat saya,termasuk hak atas tanah adalah seperti diatur dalam pasal 24 PP No 27 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diatas, namun penempatannya dalam pengadaan tanah pada pasal 12 huruf (d) yaitu benda benda lain yang berkaitan dengan tanah. Hal ini termasuk ganti kerugian yang harus diberikan dalam rangka pengadaan tanah, selain Hak atas tanah (HM,HGB,HP.HGU), bangunan dan tanaman. Ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana pasal 12 Keppres no 55 tahun 1993, diberikan untuk :
a. Hak atas tanah.
b. Bangunan.
c. Tanaman.
d. Benda benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Peraturan Menteri Agraria No 1
tahun 1994, (jika belum dihapus dan diganti yang baru) pada pasal 20 telah
mengakomodir soal ganti rugi dengan memberikan santunan kepada :
a. Mereka
yang memakai tanah sebelum tanggal 16 desember 1960 sebagaimana dimaksud dalam
UU No 51 Prp 1960. (tanggal berlakunya undang undang nomor 51 Prp 1960 tentang
larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya).
b. Mereka
yang memakai tanah bekas hak barat, sebagaimana dimaksud pasal 4 dan 5 Keppres
No 32 tahun 1979 mengenai kebijaksanaan konversi tanah bekas hak barat.
c. Bekas
pemegang HGB yang tidak memenuhi syarat pasal 17 angka 3 huruf b.
d. Bekas
pemegang Pakai yang tidakmemenuhi syarat pasal 17 angka 4 huruf c.
Besarnya uang santunan tersebut
ditetapkan panitia pengadaan tanah, menurut pedoman yang dikeluarkan oleh
Bupati/walikota dan untuk DKI oleh Gubernur.
Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah sejak kapan pemerintah daerah membuat rencana tata ruang wilayah di DKI
Jakarta???.
Saya kira penggusuran yang selama
ini dilakukan menurut kesimpulan saya, perlu ditelaah dikembali
Agar bisa berjalan sesuai koridor
hukum tanah di Indonesia. Saran saya sebelum penggusuran cdilakukan sebaiknya
BPN bersuara dulu ke publik menyatakan
pendapatnya dari sisi hukum tanah secara runut, barulah pemda menyikapinya, apakah
digusur begitu saja atau ada kompensasi, yah memanusiakan manusialah... terima
kasih.
No comments:
Post a Comment