”STROOMAN” DALAM
KOPERASI.
Widi Arianto

Strooman adalah pemilikan
terselubung atas suatu hak. Strooman terjadi karena peraturan yang ketat,
sehingga orang orang tertentu menjadi tertutup peluang untuk memiliki. Misalnya
Hak Milik atas tanah hanya boleh dimiliki oleh seorang warganegara Indonesia
tunggal. Maka orang asing bukan WNI dilarang
memiliki tanah di Indonesia dengan hak milik. Kepada mereka hanya
terbatas pada pemilikan hak atas tanah dengan Hak Pakai, sebagaimana dinyataakan
dalam PP Nomor 41 tahun 1996. Contoh Strooman bisa terjadi pada kepemilikan
tanah di Batam, dimana sertipikat tanah atas penduduk asli Batam, tetapi
sebenarnya tanah itu dimiliki orang Singapura atau Malaysia secara Strooman.
Bisa juga misalnya di kota jepara yang terkenal ukirannya, para pedagang asing
mengawini penduduk jepara, dan membeli tanah atas nama isterinya yang asli
jepara, tetapi sebenarnya milik asing, dsb.
Di koperasi
juga bisa terjadi kepemilikan secara strooman atas koperasi. Aturan menyebutkan
bahwa untuk pendirian koperasi primer, sekurang kurangnya didirikan oleh 20
(dua puluh) orang dengan akta pendirian didepan Notaris. Pemilikan secara
strooman terjadi apabila, para pendiri hanya sebatas sebagai fornalitas belaka.
Untuk pembuatan akta Notaris, mereka hanya menyerahkan KTP saja, dan waktu
pembacaan akta, mereka hanya hadir sekedar mendengarkan pembacaan akta oleh
Notaris. Selebihnya hanya satu atau dua orang atau satu keluarga yang
mengendalikan dan menjalankan koperasi itu. Para Notaris, tidak akan ambil
pusing tentang kebenaran niat para pendiri koperasi. Bagi Notaris, syarat formal terpenuhi, sudah
cukup untuk dibuatkan aktanya. Hal demikian ternyata kelak menjadikan koperasi
bermasalah, setelah koperasi menjadi besar dan melibatkan banyak anggota
penyimpan/nasabah simpanan koperasi. Contoh sudah banyak koperasi yang kollaps
yang merugikan banyak uang nasabah, seperti Langit Biru, Cipaganti dll,dan
terakhir Koperasi Persada Madani, yang ternyata hanya namanya saja koperasi,
tetapi sebenarnya tidak memiliki jiwa koperasi dan tidak menjalankan usaha
sesuai prinsip prinsip koperasi. Bisa saja pada awal pendirian, seseorang
mengumpulkan KTP isteri, anak yang sudah dewasa, saudara2nya, ipar2nya, kakek
neneknya, mertua, orang tua dsb sehingga cukup 20 orang yang merupakan sanak
keluarganya dan ipar iparnya dsb.
Akta pendirian
koperasi yang dibuat Notaris, harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah
sesuai pasal 9 UU Nomor 25 tahun 1992, dalam hal ini adalah Menteri Koperasi
dan UKM atau pejabat yang berwenang di kabupaten/kota atau provinsi yang
ditunjuk Menteri Koperasi dan UKM. Proses pengesahan badan hukum koperasi,
memerlukan dokumen2 antara lain adanya rencana kerja paling sedikit selama tiga
tahun dan syarat syarat lainnya. Permasalahannya apakah syarat itu hanya
sebagai syarat formal tanpa ada verifikasi, terutama pada rencana kerja selama
tiga tahun itu, yang seharusnya menjadi bahan/dokumen pemantauan koperasi oleh
Pemerintah cq Kiementerian Koperasi dan UKM serta pejabat berwenang tingkat
kabupaten/kota dan provinsi. Jika dokumen itu sebatas hanya untuk penerbitan
pengesahan badan hukumnya saja, maka Pemerintah tidak melakukan pembinaan
secara konsisten sesuai peraturan yang dibuatnya sendiri. Menrut hemat saya,
dokumen rencana kerja tiga tahunan itu menjadi data base di Kementerian
koperasi dan jajarannya di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sesuai
kewenangannya. Sehingga arah perkembangan koperasi bisa dipantau secara baik.
Hal ini untuk mengetahui apakah koperasi benar benar merupakan gerakan ekonomi
rakyat, ataukah hanya sebagai kamuflase untuk mengeruk keuntungan pribadi
pendirinya melalui kepemilikan secara strooman itu.
Saran yang bisa saya sampaikan adalah,
perlu adanya rambu rambu/norma hukum yang mengeliminir kepemilikan koperasi
secara strooman dengan ketentuan tekhnis yang tegas dalam hal:
1.
Pembuatan akta pendirian, dengan menyerahkan
kepada Notaris ybs untuk memeriksa kebenaran materiil akta pendirian tsb. Para
Notaris sebaiknya tidak hanya membuat akta pendirian saja dan menerima fee
pembuatan akta, tetapi juga menjadi pejabat yang harus hadir dalam rapat
anggota koperasi untuk memastikan perkembangan koperasi berdasarkan akta yang
Notaris buat. Notaris dapat menugaskan asistennya untuk menghadiri dan memantau
perkembangan/dinamika koperasi ybs. Pengawasan terhadap perkembangan koperasi
masih memerlukan kepedulian yang tinggi dari pemerintah.
2.
Pelaksanaan pengesahan koperasi sebaiknya
dilakukan secara selektip dengan didahului ferifikasi persyaratan dengan
rencana kerja, dan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi, yang
selanjutnya menjadi awal data base untuk pemantauan dan pembinaan terhadap
koperasi ybs.
Demikian
sepintas perihal strooman dan cara mengatasi permasalahan tersebut, agar
koperasi benar benar menjadi gerakan ekonomi kerakyatan, bukan lembaga
terselubung untuk mencari untung pihak pihak yang memanfaatkannya. Kasus kasus
koperasi terselubung agar tidak terjadi lagi, seperti halnya “langit biru” dsb.
Strooman adalah pemilikan
terselubung atas suatu hak. Strooman terjadi karena peraturan yang ketat,
sehingga orang orang tertentu menjadi tertutup peluang untuk memiliki. Misalnya
Hak Milik atas tanah hanya boleh dimiliki oleh seorang warganegara Indonesia
tunggal. Maka orang asing bukan WNI dilarang
memiliki tanah di Indonesia dengan hak milik. Kepada mereka hanya
terbatas pada pemilikan hak atas tanah dengan Hak Pakai, sebagaimana dinyataakan
dalam PP Nomor 41 tahun 1996. Contoh Strooman bisa terjadi pada kepemilikan
tanah di Batam, dimana sertipikat tanah atas penduduk asli Batam, tetapi
sebenarnya tanah itu dimiliki orang Singapura atau Malaysia secara Strooman.
Bisa juga misalnya di kota jepara yang terkenal ukirannya, para pedagang asing
mengawini penduduk jepara, dan membeli tanah atas nama isterinya yang asli
jepara, tetapi sebenarnya milik asing, dsb.
Di koperasi
juga bisa terjadi kepemilikan secara strooman atas koperasi. Aturan menyebutkan
bahwa untuk pendirian koperasi primer, sekurang kurangnya didirikan oleh 20
(dua puluh) orang dengan akta pendirian didepan Notaris. Pemilikan secara
strooman terjadi apabila, para pendiri hanya sebatas sebagai fornalitas belaka.
Untuk pembuatan akta Notaris, mereka hanya menyerahkan KTP saja, dan waktu
pembacaan akta, mereka hanya hadir sekedar mendengarkan pembacaan akta oleh
Notaris. Selebihnya hanya satu atau dua orang atau satu keluarga yang
mengendalikan dan menjalankan koperasi itu. Para Notaris, tidak akan ambil
pusing tentang kebenaran niat para pendiri koperasi. Bagi Notaris, syarat formal terpenuhi, sudah
cukup untuk dibuatkan aktanya. Hal demikian ternyata kelak menjadikan koperasi
bermasalah, setelah koperasi menjadi besar dan melibatkan banyak anggota
penyimpan/nasabah simpanan koperasi. Contoh sudah banyak koperasi yang kollaps
yang merugikan banyak uang nasabah, seperti Langit Biru, Cipaganti dll,dan
terakhir Koperasi Persada Madani, yang ternyata hanya namanya saja koperasi,
tetapi sebenarnya tidak memiliki jiwa koperasi dan tidak menjalankan usaha
sesuai prinsip prinsip koperasi. Bisa saja pada awal pendirian, seseorang
mengumpulkan KTP isteri, anak yang sudah dewasa, saudara2nya, ipar2nya, kakek
neneknya, mertua, orang tua dsb sehingga cukup 20 orang yang merupakan sanak
keluarganya dan ipar iparnya dsb.
Akta pendirian
koperasi yang dibuat Notaris, harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah
sesuai pasal 9 UU Nomor 25 tahun 1992, dalam hal ini adalah Menteri Koperasi
dan UKM atau pejabat yang berwenang di kabupaten/kota atau provinsi yang
ditunjuk Menteri Koperasi dan UKM. Proses pengesahan badan hukum koperasi,
memerlukan dokumen2 antara lain adanya rencana kerja paling sedikit selama tiga
tahun dan syarat syarat lainnya. Permasalahannya apakah syarat itu hanya
sebagai syarat formal tanpa ada verifikasi, terutama pada rencana kerja selama
tiga tahun itu, yang seharusnya menjadi bahan/dokumen pemantauan koperasi oleh
Pemerintah cq Kiementerian Koperasi dan UKM serta pejabat berwenang tingkat
kabupaten/kota dan provinsi. Jika dokumen itu sebatas hanya untuk penerbitan
pengesahan badan hukumnya saja, maka Pemerintah tidak melakukan pembinaan
secara konsisten sesuai peraturan yang dibuatnya sendiri. Menrut hemat saya,
dokumen rencana kerja tiga tahunan itu menjadi data base di Kementerian
koperasi dan jajarannya di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sesuai
kewenangannya. Sehingga arah perkembangan koperasi bisa dipantau secara baik.
Hal ini untuk mengetahui apakah koperasi benar benar merupakan gerakan ekonomi
rakyat, ataukah hanya sebagai kamuflase untuk mengeruk keuntungan pribadi
pendirinya melalui kepemilikan secara strooman itu.
Saran yang bisa saya sampaikan adalah,
perlu adanya rambu rambu/norma hukum yang mengeliminir kepemilikan koperasi
secara strooman dengan ketentuan tekhnis yang tegas dalam hal:
1.
Pembuatan akta pendirian, dengan menyerahkan
kepada Notaris ybs untuk memeriksa kebenaran materiil akta pendirian tsb. Para
Notaris sebaiknya tidak hanya membuat akta pendirian saja dan menerima fee
pembuatan akta, tetapi juga menjadi pejabat yang harus hadir dalam rapat
anggota koperasi untuk memastikan perkembangan koperasi berdasarkan akta yang
Notaris buat. Notaris dapat menugaskan asistennya untuk menghadiri dan memantau
perkembangan/dinamika koperasi ybs. Pengawasan terhadap perkembangan koperasi
masih memerlukan kepedulian yang tinggi dari pemerintah.
2.
Pelaksanaan pengesahan koperasi sebaiknya
dilakukan secara selektip dengan didahului ferifikasi persyaratan dengan
rencana kerja, dan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi, yang
selanjutnya menjadi awal data base untuk pemantauan dan pembinaan terhadap
koperasi ybs.
Demikian
sepintas perihal strooman dan cara mengatasi permasalahan tersebut, agar
koperasi benar benar menjadi gerakan ekonomi kerakyatan, bukan lembaga
terselubung untuk mencari untung pihak pihak yang memanfaatkannya. Kasus kasus
koperasi terselubung agar tidak terjadi lagi, seperti halnya “langit biru” dsb.
No comments:
Post a Comment