VERIFIKASI PILKADA.

Saat ini istilah
verifikasi menjadi potensi ancaman calon independen dalam
pilkada DKI jakarta. Verifikasi yang berlangsung selama 14 hari, memberi
kesempatan pihak yang diverifikasi untuk hadir di kantor kelurahan dalam waktu 3
hari, agar dapat diverikifasi ulang jika pendukung beralangan pada waktu itu, Menurut KPU hal demikian itu justru
mEmudahkan pasangan calon independen.
Kenapa verifikasi
faktual dipergunakan juga, sedang surat dukungan formal sudah mewakili secara
hukum. Verifikasi faktual menghabiskan biaya dan waktu serta tenaga, apakah
jika ketika sebagian besar pendukung
yang diverifikasi tidak lolos, karena tidak berada ditempat atau tidak berada
ditempat, apakah KPU berani membatalkan pasangan calon yang kebetulan adalah petahana
yang dinilai masyarakat umum sudah berbuat banyak bagi warganya. Kenapa demikian
sulit untuk menjadi pasangan calon independen. Apakah tidak ada terobosan yang
lebih mudah dan efisien.
Menurut pendapat
pribadi saya, penentuan lolos tidaknya pasangan calon bisa mengikuti pilkada,
tidak selalu harus melalui verifikasi faktual sebanyak data yang disetorkan ke
KPU. Cara demikian adalah cara kuno, yang akan menghitung satu persatu
pendukung pasangan calon. Zaman ketika tidak ada ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti sekarang ini.
Ilmu Pengetahuan yang
sering dipergunakan dalam pemilu du Indonesia dan dunia adalah survey hitung
cepat /quick account yang beberapa pemilu selalu tepat hasilnya. Kenapa sistem
survey ini tidak digunakan saja dalam verifikasi pilkada. Jelas dengan
pendukung yang homogen akan lebih mudah
dan murah, hasilnya juga sekedar lolos atau tidak dalam pilkada, belum
menyatakan menang atau kalah pilkada, dengan verifikasi konvensional yang
dilakukan KPU, seperti menisbikan ilmu hukum yang sudah dilakukan pendukung melalui
bukti surat dukungan dan fotokopi KTP yang disertakannya, tinggal
mencocokkan data dan tanda tangan dengan KTP pendukung. Sehingga KPU
tinggal menghitung apakah hasil verifikasi ini sudah cukup menghasilkan
keputusan lolos atau masih perlu verifikasi atas surat dukumgan yang diragukan
kebenaeannya.
Bagaimana penggunaan
teknologi dalam menunjang proses pilkada ini. Media sosial sudah banyak dan
akrab dengan warga kota besar seperti Jakarta
dan kota kota lainnya di Indonesia. Sebaiknya
teknologi ini juga dimanfaatkan dalam proses dukungan pilkada. KPU harus berinovasi bagaimana dukungan perseorangan
tidak menjadi polemik masyarakat. Misalnya di KPU tersedia server yang bisa
menampung massages pendukung calon yang sudah menyerahkan surat dukungan,
sihingga memudahkan KPU memverifikasi dukungan dengan cross cek data berkas dukungan yang diserahkan
pasangan calon dengan data di Server KPU.
Justru yang harus diuji
adalah kursi parpol pada saat pemilu, apakah memiliki dukungan yang sama saat
pilkada dilakukan. Kalau secara teoritis, misalnya gabungan parpol mencapai 50
% atau lebih kursi DPRD, logikanya calon yang diusung akan menang di pilkada. Apabila
justru yang menang adalah calon independen, maka bisa disimpulkan deparpolisasi
dalam kehidupan politik memang terjadi, seperti disuarakan sejumlah politisi.....!!!.
Demikian masukan untuk
KPU agar ada efisiensi biaya, tenaga dan pikiran,
No comments:
Post a Comment