Saturday, July 9, 2016

DILEMA ROKOK..................



DILEMA ROKOK

Image result for GAMBAR PEROKOK BERAT
Rokok itu sebangsa candu, karena perokoknya memiliki rasa untuk mencandu, seperti halnya narkotika, hanya akibat terhadap badan pecandu rokok tidak seperti akibat yang ditimbulkan oleh narkotika. Dikota Kudus, ada ratusan perusahaan rokok kretek, yang dahulunya memang ada raja kretek yaitu Nitisemito yang terkenal itu. Sampai sekarang pecandu rokok makin banyak, sampai menjadi dilema pemerintah, menutup pabrik rokok atau meneruskan terjangkitnya masyarakat atas bahaya merokok. Jika menutup pabrik rokok, maka cukai yang mengalir kepemerintah menjadi nihil, tetapi masyarakat menjadi sehat dan subsidi kesehatan manjadi kecil, tetapi pengangguran dan penyelundupan rokok asing akan merajalela, memang itulah dilema rokok. Kecil dibiarkan, besar menjadi benalu.
Ternyata, besarnya cukai rokok menjadi tidak ada artinya karena biaya kesehatan yang harus dikeluarkan jauh lebih besar.   . Jika ditotalkan  kerugian ekonomi makro tercatat mencapai Rp245,41 triliun, tetapi pendapatan negara dari cukai di tahun yang sama hanya Rp 55 triliun. Penyakit terkait rokok akan menjadi beban berat bagi APBN. 

Selain menjadi faktor penyebab dari lima penyakit penyebab kematian utama, merokok juga memperparah angka kemiskinan. Namun, pemerintah sedang mencari solusi atau alternatif lain agar pembiayaan kesehatan ini adil tetapi tidak memberatkan APBN.  

Bisa jadi ke depan ,seperti konsep sin tax (bayar dosa) yang diberlakukan di sejumlah negara, seperti Thailand dan Singapura akan diberlakukan, tetapi baru sebatas wacana, yaitu dibebankan kepada produsen dan perokoknya, namun perlu ada payung hukumnya.  Pemerintah  sangat membutuhkan masukan-masukan untuk masalah ini, sebab mengharapkan APBN tidak mungkin. Selama ini peemerintah cenderung selalu menaikkan cukai agar di satu sisi menekan jumlah konsumsi, juga membayar akibat perilaku perokok sendiri.

Penyakit terkait rokok,  seperti  paru kronik, jantung koroner, stroke, tumor paru, dan bayi berat lahir rendah adalah lima jenis penyakit terbanyak menyedot pembiayaan pada pasien Askes dan Jamkesmas pada tahun 2010.  
Merokok, ternyata, juga memperparah tingkat kemiskinan, karena pendapatan terbatas pada keluarga miskin dibelanjakan untuk rokok. Prevalensi perokok aktif petani, nelayan dan buruh mencapai 50,3%. "Sementara biaya belanja rokok lebih besar 3 kali lipat dibanding biaya pendidikan, dan 4,3 kali dibanding biaya kesehatan,"   
Ternyata, pendapatan cukai mengalami pertumbuhan rata-rata 16,7% per tahun dari Rp 51,3 triliun (2008) menjadi Rp 95,0 triliun (2012). Penyebabnya ternyata di antaranya dipengaruhi oleh peningkatan produksi rokok dan harga jual eceran.  
(data dikutip dari Suara Pembnaharuan, sabtu 9 muli 2016);
                                        

Secara filosofis dan yuridis, negara berkewajiban untuk memberi pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negara, termasuk penderita PTR dan sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945 (antara news, kamis 31 oktober 2013)
Data riset kesehatan tahun 2007 menyebutkan, perokok pada usia 15-19 tahun mencapai 4,2 juta jiwa. Dari angka tersebut 7 persen usia perokok adalah sekolah dasar (SD), 16 persen usia sekolah menegah pertama (SMP), sedangkan usia sekolah menegah atas sebanyak 24 persen.
Tingginya jumlah perokok usia anak-anak tidak lepas dari pengaruh iklan rokok, perilaku orang dewasa dan kemudahan untuk memperoleh rokok. Tidak ada kesulitan bagi masyarakat untuk memperoleh rokok, karena jaringan penjualan rokok sangat luas  hingga pelosok desa.
Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi yang membatasi penjualan rokok di toko-toko kelontongan di Indonesia memudahkan setiap orang membeli rokok, baik itu anak-anak maupun orang dewasa (Pos Kota news, sabtu, 25 agustus 2012)
Jika industri rokok dimatikan maka, asing akan menyerbu Indonesia, jika cukai dinaikkan, seperti pengalaman yang sudah sudah, maka industri rokok akan banyak tutup, petani tembakau juga akan bangkrut, jutaan buruh rokok akan menganggur. dan yang miskin akan tambah miskin, terutama pecandu rokoknya.
Bagaimana mengatasi problem komplex ini?. Menurut hemat saya, adalah sbb :
1.   Segala pajak berkaitan rokok memang harus dinaikkan, seperti cukai rokok, pajak iklan rokok, pajak kendaraan truk yang mengangkut rokok, pajak penghasilan pegawai pabrik rokok, pajak PBB pabrik rokok dan gudang penyimpanannya, dan pajak pajak lainnya. Akibat kenaikan pajak,maka pecandu rokok akan semakin berpikir untuk merokok, tetapi juga akan beralih kepada rokok murah atau rokok gelap.
2.   Melarang segala iklan rokok. Iklan rokok yang berbunyi “merokok membunuhmu”, tidak akan mempan karena yang terbunuh bukan aku perokok nya, tetapi kamu yang mengisap asapnya, . “Mestinya berbunyi “Merokok membunuhKu”.  
3.   Berdasasrkan data E-KTP,para Lurah mendata perokok diwilayahnya,kemudian dikumpulkan untuk sosialisasi bahaya merokok, disertai ancaman sanksi, seperti PBB  rumahnya akan dinaikkan.
4.   Memperketat izin perdagangan, dengan mencantumkan apa saja yang akan diperdagangkan disebuah warung, jika ada warung yang meminta izin perdagasngan rokok disamping izin lainnya, maka warung tersebut dikenakan pajak yang lebih tinggi. Bukti penjualan bir bisa diredam, kenapa rokok tidak bisa.
5.   Ditelevisi Menteri kesehatan menyatakan bahaya merokok bagi kesehatan dan larangan merokok ditempat umum diseluruh wilayah Indonesia sebagai   moment revolusi mental, ancaman sanksi kepada perokok, jika karyawan dipotong gajinya.
6.   Pemerintah membuat payung hukum undang undang anti merokok dengan memasukkan unsur unsur diatas untuk menegaskan kemauan rakyat Indonesia.
Bagaimana kepada pengusahanya dan buruh pabriknya, serta petani tembakaunya, serta industri ikutan lainnya? Ntar dipikirkan dulu..... Terima kasih.

No comments:

Post a Comment