Saturday, September 17, 2016

DUPLIKASI SUARA RAKYAT???



DUPLIKASI SUARA RAKYAT ??.

Image result for pemilu di indonesia
Sudah lama saya memikirkan soal pemilu, yang memilih anggota DPR dan anggota DPD. Anggota DPR dikenal sebagai anggota legislatip, sedang anggota DPD mungkin juga anggota legislatip yang tidak memiliki kewenangan sepertiqnggota DPR. Sampai sekarang saya masih gelap apa itu DPD.
DPD merupakan lembaga tinggi negara setingkat DPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Anggota DPD mewakili rakyat dan independen, artinya tidak memiliki partai. Tetapi ternyata anggota DPD sebagian besar (barangkali) adalah bekas anggota partai politik, seperti Demokrat dengan Pasek Wijaya, yang dikenal loyalis Anas, sehingga menyingkir dari demokrat. Kita juga dengar AM Fatwa bekas  (PAN?), Gusti Kanjeng Ratu Hemas, maupun Siswono Yudo Husodo yang bekas Golkar  dll  yang tentunya bekas bekas anggota parpol yang melompat dari partainya menjadi non partisan.
 Perkara anggota DPD itu melompat dari parpolnya dengan kesadaran sendiri maupun karena terpaksa, tidak dalam konteks, namun rakyat menjadi memilih dua orang wakil nya dilembaga legilatip (kalau DPD juga dikategorikan sebagai lembaga legislatip), sehingga besar kemungkinan suara anggota DPD yang  dipilih rakyat ybs, tidak sama dengan suara anggota DPR yang juga dipilih rakyat ybs. Maka rakyat diajak mendua dalam berpendapat. Aneh nggak keadaan ini?
Mungkinkah anggota DPD  merupakan representasi pemenuhan jabatan orang orang yang tidak lagi memiliki kekuasaan di partai politik sehingga mereka diarahkan partainya untuk menjadi anggota DPD?. Persis seperti pembentukan komisi komisi atau institusi di kementerian yang menampung pensiunan pejabat tinggi kementeriannya
Untuk tetap berkiprah dipemerintahan, apakah itu di BUMN/BUMD atau di komisi internal kementerian. Akibat sistemyang demikian itu,maka regenerasi menjadi lebih lambat dan penciptaan status quo menjadi lebih lama.
Kita ingat langkah gubernur Basuki yang mereposisi jabatan aparatnya di pemprov DKI jakarta,ribuan pejabat eselon sering diganti, agar arah dan irama pembangunann di jakarta sesuai dengsan keinginannya. Bahkan RT dan RW pun dipaksa untuk berkontribusi lewat Qlue.
Apakah DPD masih relevan, apalagi dengan ditangkapnya ketua DPD karena sangkaan suap oleh KPK. Apakah kalau DPD tidak ada, republik akan berumur pendek?. Kalau DPD dipertahankan, maka menurut hemat saya, tidak perlu melalui pemilihan, tetapi mereka diangkat dari kalangan akademisi yang menonjol, seperti para rektor atau dekan fakultas hukum maupun politik ataupun para pakar universitas terkenal diwilayah propinsi masing masing.
Dengan demikian tidak ada duplikasi suara rakyat, yang penggunaannya bisa tolak belakang dalam satu masalah.
Demikian bro pendapat saya yang selama ini mengganjal dihati, dan momennya baru sekarang  bisa saya ungkapkan karena kasus suap yang sebenarnya menurut ukuran sekarang adalah kelas teri, seperti pepatah  Jawa “mburu uceng kelangan deleg”.....udaqh ya bro...kalau ada pendapat lain????

No comments:

Post a Comment