DUPLIKASI SUARA RAKYAT
??.
Sudah lama saya memikirkan soal pemilu, yang memilih anggota
DPR dan anggota DPD. Anggota DPR dikenal sebagai anggota legislatip, sedang
anggota DPD mungkin juga anggota legislatip yang tidak memiliki kewenangan
sepertiqnggota DPR. Sampai sekarang saya masih gelap apa itu DPD.
DPD merupakan lembaga tinggi negara setingkat DPR yang
dipilih langsung oleh rakyat. Anggota DPD mewakili rakyat dan independen, artinya
tidak memiliki partai. Tetapi ternyata anggota DPD sebagian besar (barangkali)
adalah bekas anggota partai politik, seperti Demokrat dengan Pasek Wijaya, yang
dikenal loyalis Anas, sehingga menyingkir dari demokrat. Kita juga dengar AM
Fatwa bekas (PAN?), Gusti Kanjeng Ratu
Hemas, maupun Siswono Yudo Husodo yang bekas Golkar dll yang
tentunya bekas bekas anggota parpol yang melompat dari partainya menjadi non partisan.
Perkara anggota DPD
itu melompat dari parpolnya dengan kesadaran sendiri maupun karena terpaksa,
tidak dalam konteks, namun rakyat menjadi memilih dua orang wakil nya dilembaga
legilatip (kalau DPD juga dikategorikan sebagai lembaga legislatip), sehingga
besar kemungkinan suara anggota DPD yang
dipilih rakyat ybs, tidak sama dengan suara anggota DPR yang juga
dipilih rakyat ybs. Maka rakyat diajak mendua dalam berpendapat. Aneh nggak
keadaan ini?
Mungkinkah anggota DPD
merupakan representasi pemenuhan jabatan orang orang yang tidak lagi
memiliki kekuasaan di partai politik sehingga mereka diarahkan partainya untuk
menjadi anggota DPD?. Persis seperti pembentukan komisi komisi atau institusi
di kementerian yang menampung pensiunan pejabat tinggi kementeriannya
Untuk tetap berkiprah dipemerintahan, apakah itu di BUMN/BUMD
atau di komisi internal kementerian. Akibat sistemyang demikian itu,maka
regenerasi menjadi lebih lambat dan penciptaan status quo menjadi lebih lama.
Kita ingat langkah gubernur Basuki yang mereposisi jabatan
aparatnya di pemprov DKI jakarta,ribuan pejabat eselon sering diganti, agar
arah dan irama pembangunann di jakarta sesuai dengsan keinginannya. Bahkan RT
dan RW pun dipaksa untuk berkontribusi lewat Qlue.
Apakah DPD masih relevan, apalagi dengan ditangkapnya ketua
DPD karena sangkaan suap oleh KPK. Apakah kalau DPD tidak ada, republik akan
berumur pendek?. Kalau DPD dipertahankan, maka menurut hemat saya, tidak perlu
melalui pemilihan, tetapi mereka diangkat dari kalangan akademisi yang
menonjol, seperti para rektor atau dekan fakultas hukum maupun politik ataupun
para pakar universitas terkenal diwilayah propinsi masing masing.
Dengan demikian tidak ada duplikasi suara rakyat, yang
penggunaannya bisa tolak belakang dalam satu masalah.
Demikian bro pendapat saya yang selama ini mengganjal dihati,
dan momennya baru sekarang bisa saya
ungkapkan karena kasus suap yang sebenarnya menurut ukuran sekarang adalah
kelas teri, seperti pepatah Jawa “mburu
uceng kelangan deleg”.....udaqh ya bro...kalau ada pendapat lain????
No comments:
Post a Comment